bate tutong

Desa Batee Tutong adalah Desa Wisata Batee Tutong adalah nama desa di kota Calang, Kabupaten Aceh Jaya. Desa ini terletak sekitar satu kilometer dari kota Calang. Pada saat mengendarai kendaraan menuju Banda Aceh, desa ini terletak di sebelah kiri dari arah Meulaboh. Desa tidak jauh dari bibir pantai sekitar lebih kurang 20 meter. Menurut sejarah dulu kala desa dinamakan Bate Tutong karena setiap pergantian tahun pepohonan di desa yang terdapat di sebuah pulau itu menggalami layu seperti terbakar. Sejak itulah dan sampai saat ini kampong tersebut dikenal dengan Bate Tutong yang berarti batu terbakar walaupun sekarang sudah berganti nama menjadi panton makmur namun masyarakat tetap menyebutnya dengan sebutan batee tutong artinya batu terbakar.

Pantai Cemara Indah

Pantai Cemara Indah Selain pasir pantainya putih yang indah, disini juga tersedia Taman Rekreasi, yang merupakan salah satu objek wisata rekreasi keluarga. Pantai Cemara Indah ramai di kunjungi tidak hanya dari masyarakat Kabupaten Aceh Barat Daya saja, tetapi juga dari luar daerah, terutama di hari-hari libur dan akhir pekan. Lokasi wisata ini sedang dalam tahap pembangunan yang nantinya akan menjadi objek wisata yang terus berkembang. Fasilitas yang tersedia saat ini adalah warung makan, balai tempat berteduh, bangku taman, tempat permainan anak, lapangan olah raga dan musholla. Di samping itu pelayanan sarana air bersih, listrik,dan telepon juga tersedia di lokasi wisata ini

 

wisata genang gedong

Objek Wisata Genang-Gedong merupakan salah satu tempat wisata alam yang berada di Gampong Putim Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. Bentuk dari Genang-Gedong ini adalah danau yang dikelilingi oleh pepohonan. Jarak tempuh ke lokasi Genang-Gedong ini ± 20 Km dari arah kota Meulaboh menuju Banda Aceh Via Geumpang. Luas genangan air ini meliputi 3 desa atau ± 7ha. Rimbunnya pepohonan akan membuat siapa saja yang datang merasa segar santai dengan tiupan lembut angin Genang-Gedong. Bila anda ingin santai di tempat yang asri, datanglah ke Genang-Gedong, atau bila anda hobi mancing, Genang-Gedong adalah tempat mancing sambil santai bareng keluarga tercinta dengan menikmati softdrink dan lantunan musik Jazz or R&B. Disekitar lokasi Genang-Gedong telah berdiri beberapa buah café yang dikelola oleh masyarakat Gampong Putim. Di sekitar lokasi ini juga terdapat arena balap MotorCross GrassTrack. Betapapun indahnya Genang-Gedong ini belum banyak orang yang tahu, belum banyak orang yang mau datang ke sana

Pantai Kuala Beukah


Pantai Kuala Beukah terletak 10 Km dari Peureulak atau 59 Km dari Kota Langsa dan dapat dicapai dengan menggunakan minibus atau mobil pribadi. Pantai ini cukup panjang dan luas dengan air yang bersih. Pada hari-hari libur pantai ini sering dikunjungi oleh masyarakat Aceh Timur untuk piknik. Para pengunjung dapat berenang, memancing dan berbagai kegiatan pantai lainnya. Angin yang menghembus pelan dengan ombak Selat Malaka yang beralun lembut membuat pantai ini begitu mempesona

air terjun

Air terjun ini terletak di Desa Suhom dan Desa Kreung Kala, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.

Untuk mencapai Air Terjun Suhom dari Banda Aceh, memerlukan waktu kurang lebih satu jam dengan menggunakan angkutan. Perjalanan ke sana melalui rute Banda Aceh – Calang (Aceh Jaya), melewati Pantai Lampuuk, Pantai Lhoknga dan Kecamatan Leupung.

26 maret 1873

kutipan harian aceh

Bangsa pelupa akan terus jadi bahan tertawaan dan tak pernah menikmati kebahagiaan meski dalam suasana damai.

Mari sejenak kita kembali ke masa silam. Ke masa ketika pada 26 Maret 1873, di atas sebuah kapal perang yang bernama Citadel van Anwerpen, saat Nieuwenhuyzen, komisaris Gubernemen Belanda dan bertindak atas nama Kerajaan Belanda memaklumkan perang atas kerajaan Aceh.

Nieuwenhuyzen, dengan mimik serius ditopang kumis yang kasar, dengan liur berbuih-buih mendakwa kerajaan Aceh telah melakukan perompakan dan sabotase atas kapal-kapal dagang Belanda di Selat Malaka. Tak hanya itu, dengan wajah murka dan berlagak tuan meminta Aceh melepaskan kewenangannya mengontrol Selat Malaka serta memutuskan hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki, Perancis, Italia dan Amerika.

Pernyataan perang itu, menurut beberapa buku sejarah (baca: Hasan Tiro; Aceh,  Kelahiran Kemerdekaan Baru, 1992) juga karena kerajaan Aceh tak mau tunduk di bawah dominasi Belanda. Sikap congkak Belanda yang datang dari seberang dijawab tak kalah keras oleh pemangku kuasa di Aceh. Malah, seperti beredar dalam cerita-cerita di kalangan masyarakat Aceh, permintaan menyerah yang diajukan Belanda mendapatkan sindiran dari  Majelis Negara Aceh, “Bek lei takheun nanggroe, manok nyang tan gigoe nyang na lam nanggroe Aceh han ka teumueng raba, (Jangankan merebut negeri, ayam yang tanpa gigi pun yang ada di bumi Aceh tidak bisa kamu sentuh)”.

Tak usah bertanya, apa yang terjadi di bumi Aceh pasca-maklumat perang itu? Aceh terjebak dalam perang yang berkepanjangan. Sekitar 70 ribu pejuang Aceh menjadi korban, sementara di pihak Belanda sebanyak 35 ribu jiwa ikut menjadi korban di samping kerugian material yang cukup besar. Bahkan seorang perwira Belanda, Jenderal Kohler, yang memiliki kecakapan perang tewas di tangan pejuang Aceh dalam suatu peperangan di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kematian Jenderal Kohler berpengaruh besar terhadap keruntuhan mental para serdadu Belanda. Kerajaan Belanda terpaksa menarik pasukannya dari Aceh dan mempersiapkan rencana peperangan kedua secara besar-besaran.

Itulah Aceh, meskipun sering disebut sebagai keturunan raja-raja talo (kalah) perang, tak pernah gentar jika digertak. Tak salah jika dalam sebuah pepatah disebutkan: Ureueng Aceh galak meuprang, ureueng padang galak meuniaga. Ureueng Batak galak duek di ganto, nyang meu-ato syit ureueng Jawa.

Dulu, ketika awal-awal reformasi, soal maklumat perang Belanda itu kembali disinggung dan minta dicabut. Maklumat itu disebut sebagai punca segala masalah terutama soal status Aceh. Saban tahun, setiap tanggal 26 Maret, rakyat Aceh turun ke jalan-jalan meminta maklumat perang Belanda itu dicabut, sehingga Aceh kembali berdaulat sebelum perang dengan Belanda. Persyarikatan Rakyat Aceh (PRA) yang dipimpin T. Kamaruzzaman (Ampon Man), beberapa kali menggelar demo di depan kedutaan besar (Kedubes) Belanda pada tahun 1999. Mereka bahkan sampai menginap segala di depan pintu gerbang Kedubes itu.

Sebagai bangsa yang congkak, Belanda tentu saja tak berniat mencabut maklumat perang itu, sebab mencabut pertanda kalah. Pemerintah Belanda sama sekali tidak mau kehilangan muka di mata rakyatnya, di mata internasional, dan tentu saja di mata rakyat Aceh, apalagi jika harus membayar segala kerugian yang disebabkan oleh perang berkepanjangan tersebut.

Tetapi dunia terlanjur mencatat, bahwa Kerkhoff di Banda Aceh menjadi bukti betapa Belanda tak mampu berkutik jika berhadapan dengan rakyat Aceh.

Kemarin, saya sama sekali tak mendengar ada perayaan atau meminta pencabutan maklumat perang yang sudah berumur 136 tahun itu. Saya jadi bertanya, sudah lupakah orang Aceh terhadap sejarah kelam yang diakibatkan oleh maklumat perang itu? Para jurkam partai politik juga saya percaya tak sekalipun menyinggungnya. Mereka lebih suka mempromosikan diri agar dipilih oleh rakyat pada 9 April nanti. Apakah ini yang disebut sebagai penyakit amnesia? Kita tak perlu mencari kambing hitam lagi, bahwa nasib kita begini karena endatu kita malas menulis sejarah. Toh hari ini, sejarah yang tertulis saja begitu mudah kita lupakan. Melalui warkah ini, saya ingin mengingatkan saja dengan pepatah rakitan yang saya kutip di atas, bahwa:

“Bangsa pelupa akan terus jadi bahan tertawaan dan tak pernah menikmati kebahagiaan meski dalam suasana damai”. Hom hai!

Blang Padang Siapa Punya?

oleh M Adli Abdullah
SENGKETA tanah Blang Padang kembali mencuat. Kasus ini bergemuruh setelah Kodam Iskandar Muda memasang papan nama, bahwa lahan public seluas delapan hektar lebih ini sebagai miliknya. Di pihak lain, DPR Aceh mendesak pemerintah Aceh untuk mengurus sertifikat tanah ke Badan Pertanahan Negara ( BPN). Opini dan iklan dukungan bermunculan di media massa hingga mengalir deras  ke jejaring sosial. Pertanyaannya, siapakah sebenarnya pemilik lapangan ini?

Hampir seminggu saya mengotak atik  dan  menelusuri asbabul nuzul Desah Arafah alias Blang Padang. Akhirnya saya menemukan tulisan  Karel Frederik Hendrik (KFH)  Van Langen, pegawai pemerintah Belanda yang  pernah ditugaskan di Kalimantan dan Sumatra Barat. Pada tahun 1879, dia  diperbantukan pada kantor Gubernur Aceh dan daerah taklukannya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Besar. Dia pula yang membiayai percetakan buku monumental karya Snouck Horgronje  “ Atheheers” (E Gobee dan C Adriaanse: 1990).  Van Langen pernah dipercayakan empat kali sebagai pejabat sementara Gubernur Aceh ( dari 1898 sampai dengan 1895) hingga ia  meninggal dunia pada 18 April 1915 di Kota Ede, Gelderland, Belanda.

Van Langen  menulis beberapa pengalamannya selama di Aceh. Di antaranya “De Inrichting Van Het Atjehschee Staatbestur Onder Het Sultanaat”  pada tahun 1888 yang kemudian diterjemahkan oleh Prof Abubakar Aceh dengan judul Susunan Pemerintahan Aceh semasa kesultanan. Dalam buku ini disebutkan bahwa Blang Padang dan Blang Punge adalah Umeung Musara  (tanah wakaf) Mesjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan  atau dijadikan harta warisan dan  tidak ada pihak yang dapat menggangu gugat status keberadaan hak miliknya.

Tanoh meusarah digunakan sebagai sumber penghasilan imeuem Mesjid Raya Baiturrahman. Jika penghasilan dari tanah wakaf masjid ini tidak cukup membiayai Masjid Raya, maka dibantu oleh zakat padi atau barang barang lainnya dari penduduk yang berkediaman di sekitar masjid raya. Hasil tanah wakaf ini khusus untuk pemeliharaan masjid, seperti keperluan muazin, bilal, khatib dan kebutuhan lainnya. Jika ada perbaikan berat maka diminta bantuan pada penduduk.

Alkisah, ketika genderang perang Aceh vs Belanda dimulai pada 26 Maret 1873, Belanda melakukan kesalahan besar dalam sejarah invasi kolonialnya dengan menduduki dan membakar Masjid Raya Baiturrahman dengan melempar 12 granat pada Kamis, 10 April 1873.  Rakyat Aceh makin marah, akibatnya  berselang empat hari kemudian Belanda harus membayar mahal dengan tewasnya Jenderal J.H.R. Kohlier di halaman Masjid Raya pada 14 April 1873. Serdadu Belanda kabur ke Batavia pada 17 April 1873 (Paul Van Vier: 1979).

Belanda kembali melakukan invasi kedua pada 9 Desember 1873 dan 24 Januari 1874. Istana kesultanan Aceh berhasil diduduki  setelah Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874M) meninggalkannya dan mengungsi ke Lueng Bata. Maka saat itu  Letnan Jenderal Van Swieten mengumumkan pada dunia Internasional bahwa  “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter ) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda” (Talsya: 1982). Seluruh kekayaan pribadi dan aset istana dirampas dan dijadikan milik  pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght van Over Winning  (H.C. Zentgraaff:1981 ). Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan Aceh ini kemudian dikuasai oleh KNIL Jepang, seperti Kuta Alam, Neusu, Kraton dan sejumlah asset lain yang sudah dialih fungsi saat ini.

Namun Masjid Raya dan aset wakafnya, ternyata tidak dirampas oleh Belanda untuk dijadikan sebagai harta rampasan hak menang perang sebagaimana berlaku asas  Reght van Over Winning. Karena menurut Belanda ini (perang Aceh dengan Belanda ) bukan perang agama (perang Suci ), sehingga Masjid Raya Baiturahman yang telah dibakar  pada 10 April 1873 dibangun kembali oleh Belanda pada Tahun 1879 oleh Gubernur Aceh Jenderal  K Van der Heijden. Van Langen menulis dalam bukunya, bahwa tanah tersebut sebagai tanah meusara Masjid Raya dan tidak bisa dipindahtangankan. (Van Langen: 1888).

Jadi, secara jelas dapat dikatakan bahwa serambi Masjid Raya Baiturrahman adalah Blang Padang yang sempat  digunakan sebagai lapangan olahraga dan pada tahun 1981 berganti nama menjadi desah arafah dan tempat arena MTQ Nasional. Karenanya, tidak heran di Blang Padang dari dulu menjadi tempat salat hari raya idul fitri dan idul adha, tidak dilaksanakan di lapangan lain karena tanah itu adalah milik Masjid Raya Baiturrahman. Dan keberadaan Blang Padang merupakan denyut nadi kehidupan masjid Mesjid Raya Baiturrahman dan Belanda Belanda sangat menghormatinya.

Menindaklanjuti polemik saling klaim antara pemerintah Aceh dan Kodam Iskandar Muda, dan hampir setiap hari ada iklan dukungan dari pemerintah  kabupaten/ kota agar pemerintah Aceh dapat mensertifikasi tanah Blang Padang atasnama pemerintah Aceh sedang pihak TNI mengklaim itu adalah miliknya.Maka yang perlu dilakukan  agar kedua belah pihak  ikhlas mengembalikan tanah Blang Padang sebagai aset wakaf dan menjadi musara Mesjid Raya Baiturrahman yang  dapat dimanfaatkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan sebelumnya .

Sebenarnya, masih banyak tanah tanah wakaf di Aceh yang masih perlu dibenahi sehingga tidak beralih fungsi dan kepemilikannya. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya (Serambi, 29 November dan  6 Desember 2009), agar pemerintah Aceh mampu dan mau meluruskan tanah tanah wakaf di Aceh yang sudah tidak jelas statusnya  saat ini.

Pemerintah Aceh harus belajar terhadap hal  yang dilakukan Baitul Asyi di Mekkah al Mukaramah Saudi Arabia. Mereka mampu mengelola tanah tanah wakaf Aceh sudah ratusan tahun, meskipun sudah sekian kali dinasti berkuasa berganti. Sampai sekarang hasilnya masih bisa diperoleh para jamaah asal Aceh yang menunaikan ibadah haji. Para jamaah Aceh diberikan ganti berupa uang pemondokan jamaah haji sesuai dengan amanah wakaf di waktu kerajaan Aceh dahulunya. Dan mudah-mudahan tulisan ini bisa menjinakkan “nafsu ingin menguasai” harta milik Allah itu, dan  Blang  Padang dapat dikembalikan sebagai aset mesjid Raya Baiturrahman kembali. Sebab penjajah Belanda saja sangat menghormatinya, kenapa kita tidak.

* Penulis adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

AIR TERJUN BLANG KOLAM

blang kolam

Air terjun Blang Kolam berada ± 21 km dari Lhokseumawe, tepatnya di Desa Sidomulyo Kabupaten Aceh Utara. Kesederhanaan Alam yang alami oleh gemuruh air dan kicauan burung liar merupakan pesona tersendiri objek wisata ini.

rumah adat cut nyak mutia

Rumah adat Cut Nyak Meutia

Cut Nyak Meutia adalah salah seorang pahlawan wanita nasional dari Aceh Utara, selama 20 tahun ia memimpin perjuangan melawan penjajahan Belanda diwilayahnya Matangkuli yaitu dari tahun 1890-1990 M. Dari rumah ini beliau aktif dalam memimpin dan mengatur strategi peperangan.

Rumah Adat Cut Meutia dapat ditemui 3 km dari desa Matangkuli Kecamatan Matangkuli. Rumah Adat Cut Meutia ini dipagar dan dibangun kembali oleh Pemerintah sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan Wanita Aceh.

Cut Nyak Meutia tewas dihulu sungai Peutoe oleh tembakan serdadu Belanda pada 25 Oktober 1910. Makamnya terletak di Desa Buket Panyang, yang jaraknya memakan waktu 2 hari 2 malam dengan berjalan kaki dari rumahnya yang merupakan perbatasan antara Kecamatan Matangkuli dan Kecamatan Cot Girek.

makam sultan iskandar muda

Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh penting dalam sejarah Aceh. Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1607-1636 ia mampu menempatkan kerajaan Islam Aceh di peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke 16. Saat itu Banda Aceh yang merupakan pusat Kerajaan Aceh, menjadi kawasan bandar perniagaan yang ramai karena berhubungan dagang dengan dunia internasional, terutama kawasan Nusantara di mana Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal niaga asing untuk mengangkut hasil bumi Asia ke Eropa. Beliau bisa bertindak adil, bahkan terhadap anak kandungnya. Dikisahkan, Sultan memiliki dua orang putera/puteri. Salah satunya bernama Meurah Pupok yang gemar pacuan kuda.Tetapi buruk laku Meurah, dia tertangkap basah sedang berselingkuh dengan isteri orang. Yang menangkap sang suami, di rumahnya sendiri pula. Sang suami mencabut rencong, ditusukkannya ke tubuh sang isteri yang serong. Sang suami kemudian melaporkan langsung kepada Sultan, dan setelah itu di depan rajanya sang suami kemudian berharakiri (bunuh diri) Sultan, yang oleh rakyatnya dihormati sebagai raja bijaksana dan adil, jadi berang. Meurah Pupok disusulnya di gelanggang pacuan kuda dan dipancungnya (dibunuh) sendiri di depan umum. Maka timbullah ucapan kebanggaan orang Aceh: Adat bak Po Temeuruhoom, Hukom bak Syiah Kuala. Adat dipelihara Sultan Iskandar Muda, sedang pelaksanaan hukum atau agama di bawah pertimbangan Syiah Kuala. Murah Pupok dikuburkan di kompleks pekuburan tentara Belanda yang terkenal dengan nama

“KerKhoff Peutjo
et”.